Langsung ke konten utama

Leptospirosis pada Anjing



Pendahuluan
Leptospirosis merupakan salah satu penyakit yang dapat ditularkan dari hewan ke

manusia atau sebaliknya (zoonosis) yang disebabkan oleh adanya  infeksi bakteri.
Kasus leptospira banyak terjadi di Negara-negara berkembang seperti di Indonesia. Kasus ini umumnya banyak ditemukan pada hewan pada musim-musim penghujan.

Leptospira merupakan salah satu jenis bakteri gram negative yang dapat hidup dalam waktu lama di air, tanah yang lembap, tanaman dan lumpur.  Kasus leptospirosis pada hewan dapat bersifat akut maupun sub akut, pada kondisi sub akut penyakit ini akan bersifat subklinis (Quinn et al. 2002).

Bakteri Leptospira bertahan dalam waktu yang lama di dalam ginjal hewan sehingga bakteri akan banyak dikeluarkan hewan lewat urin. Manusia merupakan induk semang terakhir sehingga penularan antarmanusia jarang terjadi (Quinn et al. 2002).

Umumnya penularan penyakit terjadi akibat adanya kontak langsung dengan air limbah yang terkontamonasi oleh bakteri ini (konsumsi, kontak langsung dengan mukosa atau kulit yang rusak), luka gigitan, dan konsumsi jaringan dari hewan yang terinfeksi. Peneguhan Diagnosis biasanya dilakukan dengan menguji ada tidaknya bakteri dalam sampel, biasanya urin, atau darah.

Gejala Klinis
Menurut Quinn (2002), Gejala secara umum pada hewan yang terinfeksi oleh bakteri leptospira ialah ikterus atau jaundis, yakni warna kekuningan, karena pecahnya butir darah merah (eritrosit) sehingga ada hemoglobin dalam urin. Gejala lain yaitu demam, tidak nafsu makan, depresi, nyeri pada bagian-bagian tubuh, gagal ginjal, gangguan kesuburan, dan kadang kematian . Apabila penyakit ini menyerang ginjal atau hati secara akut maka gejala yang timbul yaitu radang mukosa mata (konjungtivitis), radang hidung (rhinitis), radang tonsil (tonsillitis), batuk dan sesak napas.  

Pada anjing yang sembuh dari infeksi akut kadang kala tetap mengalami radang ginjal interstitial kronis atau radang hati (hepatitis) kronis. Dalam keadaan demikian gejala yang muncul yaitu penimbunan cairan di abdomen (ascites), banyak minum, banyak urinasi, turun berat badan dan gejala saraf. Pada kucing  yang terinfeksi biasanya tidak menunjukkan gejala walaupun ia mampu menyebarkan bakteri ini ke lingkungan untuk jangka waktu yang tidak pasti.  Leptospirosis pada anjing dan kucing juga dapat menyebabkan infertilitas pada system reproduksi betina serta abortus (Quinn et al. 2002).

Patogenesa
Bakteri leptospira masuk ke dalam tubuh melalui kulit atau selaput lendir. Setelah didalam tubuh bakteri ini akan mengalami multiplikasi (perbanyakan) di dalam darah dan jaringan. Selanjutnya akan terjadi leptospiremia, yakni penimbunan bakteri Leptospira di dalam darah sehingga bakteri akan menyebar ke berbagai jaringan tubuh terutama ginjal dan hati. Di ginjal bakteri ini akan bermigrasi ke interstitium, tubulus renal, dan tubular lumen menyebabkan nefritis interstitial (radang ginjal interstitial) dan nekrosis tubular (kerusakan tubuli ginjal). Gagal ginjal biasanya terjadi karena kerusakan tubulus, hipovolemia karena dehidrasi dan peningkatan permeabilitas kapiler. Gangguan hati berupa nekrosis sentrilobular dengan proliferasi sel Kupffer. Pada konsisi ini akan terjadi perbanyakan sel Kupffer dalam hati. Leptospira juga dapat menginvasi otot skeletal menyebabkan edema, vakuolisasi miofibril, dan nekrosis fokal. Gangguan sirkulasi mikro muskular dan peningkatan permeabilitas kapiler dapat menyebabkan kebocoran cairan dan hipovolemia sirkulasi.

Pada kasus berat akan menyebabkan kerusakan endotelium kapiler dan radang pada pembuluh darah. Leptospira juga dapat menginvasi akuos humor mata dan menetap dalam beberapa bulan, sering mengakibatkan uveitis kronis dan berulang. Setelah infeksi menyerang seekor hewan, meskipun hewan tersebut telah sembuh, biasaya dalam tubuhnya akan tetap menyimpan bakteri Leptospira di dalam ginjal atau organ reproduksinya untuk dikeluarkan dalam urin selama beberapa bulan bahkan tahun.

Pengobatan
Pengobatan leptospirosis dapat dilakukan dengan menggunakan obat-obatan antibiotic. Antibiotik yang dapat diberikan ialah doksisiklin, enrofloksasin, ciprofloksasin atau kombinasi penisillin-streptomisin. Selain itu, diperlukan terapi suportif dengan pemberian antidiare, antimuntah, dan infus.

Daftar Pustaka

Quinn PJ, Markey BK, Carter ME, Donnelly WJ, Leonard FC. 2002. Veterinary Microbiology and Microbial Disease. USA: Blackwell Science.





Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Sekolah Kedokteran Hewan dunia

Profesi Dokter hewan merupakan salah satu profesi yang terbilang cukup tua. Profesi ini dapat dikatakan sudah ada sejak zaman romawi kuno. Dimulai dengan adanya perawat kuda pada zaman romawi yang disebut `ferrier` yaitu perawat kuda, dari sinilah dimulai perkembangan ilmu kedokteran hewan  sehingga kata `ferrier` juga berkembang menjadi veterinarius atau veterinarian. Walaupun perkembangan ilmu kedokteran hewan sudah berlangsung cukup lama, namun secara resmi profesi dokter hewan baru ada pada tahun 1761, ditandai dengan berdirinya sekolah kedokteran hewan pertama di dunia yaitu di Lyon Perancis. Secara resmi profesi dokter hewan saat ini di dunia telah berumur 250 tahun. 

Abses pada sapi

Sapi perah Abses merupakan salah satu masalah yang cukup sering terjadi pada sapi perah. Kondisi abses banyak terjadi pada peternakan sapi perah yang memiliki tingkat sanitasi kandang yang rendah. Abses merupakan kumpulan nanah (netrofil yang mati) yang berada dalam kavitas jaringan tubuh yang biasanya pada daerah kulit dan menimbulkan luka yang cukup serius karena infeksi dari bakteri pembusuk . Abses itu sendiri merupakan reaksi ketahanan dari jaringan untuk menghindari menyebar nya benda asing di tubuh. Pada abses terdapat nanah yang terlokalisasi dan dikelilingi oleh jaringan yang meradang . Gejala khas abses adalah peradangan, merah, hangat, bengkak, sakit, bila abses membesar biasanya diikuti gejala demam, selain itu bila ditekan terasa adanya terowongan (Boden 2005).

Distemper pada Anjing

Canine Distemper merupakan   salah satu penyakit penting pada anjing yang dapat menyebabkan kematian yang cukup tinggi . Tingkat kematian akibat Canine distemper pada anjing menempati urutan kedua setelah rabies (Deem et al . 2000).   Canine distemper disebabkan oleh adanya infeksi Canine distemper virus dari genus Morbillivirus dan famili Paramyxoviridae. Gejala klinik yang ditimbulkan sangat bervariasi. Gejala klinis yang timbul akibat infeksi virus distemper dapat beragam, tergantung organ yang diserang. Virus distemper umumnya dapat menyerang beberapa sistem organ seperti sistem pencernaan, sistem pernafasan, sistem saraf dan kulit.   Infeksi canine distemper virus menyebabkan adanya lesio khas pada kulit yaitu Footpad Hyperkeratosis yang biasa disebut dengan Hard Pad Disease   ( Koutinas et al. 2004).   Gambar 1. Anak Anjing (Dokumentasi Pribadi) Canine distemper pertama kali di isolasi oleh Carre pada tahun 1905. Penyakit ini tersebar diseluruh belahan dunia. Di ind