Langsung ke konten utama

AMPUTASI CAPUT FEMORAL PADA KASUS LUXATIO COXOFEMORALIS


Pendahuluan
Luxatio Coxofemoralis merupakan suatu kondisi abnormal dimana caput femoralis keluar dari acetabulum. Laporan-laporan kejadian luxatio coxofemoralis lebih banyak dilaporkan pada anjing dibandingkan kucing (Simon et al. 2010). Luxatio menyebabkan kesakitan pada daerah persendian coxofemoralis, kepincangan bahkan sampai kelumpuhan kaki belakang, tergantung dari derajat keparahan luxatio yang terjadi.

Kejadian Luxatio coxofemoralis secara umum disebabkan oleh adanya trauma eksternal (Piermattei et al. 2006). Selain itu, kejadian luxatio juga sering terjadi pada anjing-anjing ras besar. Anjing German sheperd, Golden retrivier dan kucing Siam merupakan ras-ras yang rentan terhadap keadaan ini (Ettinger dan Feldman 2004).

Diagnosa kasus Luxatio Coxofemoralis dimulai dengan pemeriksaan fisik terlebih dahulu. Kemudian dapat dilakukan pemeriksaan radiografi. Tindakan yang dapat dilakukan pada pengobatan kasus luxatio coxofemoralis ialah dengan reduksi tertutup dan terbuka. Prognosa kasus ini tergantung dari derajat keparahan luxatio yang terjadi (Harasen 2005). Tujuan dari tindakan bedah ini adalah untuk mengatasi memperbaiki keadaan hewan menjadi lebih baik.

Kasus
Hewan berjalan pincang, dengan kaki belakang yang diseret. Terdapat luka-luka dibeberapa bagian tubuh. Hewan lemas, dengan pergerakan yang sedikit. Hewan ini bernama Taro, merupakan seekor kucing lokal jantan dengan BB 2,1 Kg. Suhu tubuh 390C, frekuensi nadi 130 x/menit  dan frekeunsi nafas 42 x/menit. Pemeriksaan lanjutan yang telah dilakukan ialah pemeriksaan radiografi dan pemeriksaan darah. 

Gambar 1. Hewan yang menderita luxatio (Taro)

Gambaran radiografi menunjukkan caput femur pada kaki kanan belakang telah keluar dari acetabulum menuju arah craniodorsal. Sedangkan pada gambaran darah terlihat terjadi penurunan hematokrit, sedangkan parameter lainya normal.

Tabel 1. Hasil pemeriksaan darah
Parameter
Hasil
Inteprretasi
Hematokrit (%)
18,24
Hb  (g/DL)
8,46
Normal
Jmlh RBC (x103/µL)
8,16
Normal
Jmlh WBC (x103/µL)
9,4
Normal
Dif. Leukosit
Netrofil
8,65
Normal
Limfosit
0,56
Normal
Monosit
0,094
Normal
Eosinofil
0,094
Normal
Basofil
0
Normal
Keterangan symbol dalam table. ↑= naik (tinggi/sangat tinggi); ↓=turun (sangat rendah)

Gambar 2. Hasil x-ray/USG. Intepretasi gambar. Keterangan marker A=lesio 1, B=lesio2. (font 10)

Hewan di diagnosis mengalami Luxatio Coxofemoralis. Hasil radiografi pada kejadian luxatio coxofemoralis menunjukkan bergesernya caput femur dari acetabulum  (Harasen 2005). Diagnosa banding dari kejadian luxatio coxofemoralis ialah adanya fraktur pada caput os femur ataupun pada acetabulum os pelvis.

Prognosa kasus luxatio coxofemoralis yang dihadapi Taro ialah Dubius sampai infausta. Hal ini disebabkan oleh kejadian luxatio yang telah berlangsung lama (kronis).  Kemungkinan kembalinya keadaan hewan ke normal sangat tipis.

Terapi yang dilaksanakan pada penanganan luxatio kali ini ialah dengan reposisi dan operasi amputasi caput femoralis. Operasi dilakukan karena reposisi tidak berhasil mengembalikan caput femur dalam acetabulum. Pelaksanaan operasi amputasi caput femur telah dilaporkan dilakukan pada anjing dengan kondisi setelah pasca operasi yang mengalami perbaikan (Rawson et al. 2005).

 
Gambar 3. Pemotongan caput femur

Dengan pengambilan kepala femur, diharapkan nantinya daerah persendian coxofemoralis akan di isi oleh jaringan ikat. Dengan terisinya jaringan ikat, diharapkan fungsi persendian coxofemoralis dapat kembali, walaupun tidak 100%.

Diskusi
Luxatio coxofemoralis adalah perpindahan traumatik caput os femur dari acetabulum. Ada beberapa tindakan yang dapat dilakukan untuk mengatasi luxatio antara lain dengan tehnik close reduction dan open reduction.
Tehnik close reduction merupakan tindakan pengembalian caput femur kedalam acetabulum tanpa menggunakan operasi. Tehnik ini juga biasa disebut dengan reposisi. Walaupun tanpa operasi, dalam pelaksanaan reposisi harus diawali dengan anastesi terlebih dahulu. Tindakan reposisi biasanya menjadi prosedur awal dalam setiap tindakan penanganan luxatio coxofemoralis. Walaupun demikian tingkat keberhasilan dari tindakan reposisi berkisar antara 12% sampai 71% (Harasen 2005). Pengambilan keputusan melaksanankan operasi amputasi caput femur, setelah memastikan metode lainya tidak berhasil dilakukan. Metode ini memiliki resiko yang cukup besar terhadap kejadian infeksi (Rawson et al. 2005).  

Kesimpulan
Kasus luxatio coxofemoralis yang telah berjalan kronis cukup sulit penanganannya. Prognosa kasus ini dubius hingga infausta.

Pustaka Acuan
Ettinger SJ, Feldman EC. 2004. Textbook of Veterinary Internal Medicine 6th ed. Missouri: Saunders Elsevier
Harasen G. 2005. Coxofemoral luxations Part 1: Diagnosis and closed reduction. Can Vet J Volume 46: 368-370
Piermattei DL, FLO G, DeCamp CE. 2006. Handbook of Small Animal Orthopedics and Fracture Repairs 4th ed. Missouri: Saunders Elsevier.
Rawson EA, Aronsohn MG, Burk RL. 2005. Simultaneous bilateral femoral head and neck ostectomy for the treatment of canine hip dysplasia. J Am Anim Hosp Assoc 41 (3): 166–70
Simon S, Ganesh M, Ayyappan S, Rao GD, Kumar RS, Manonmani M, Das BC. 2010. Incidence of Canine Hip Dysplasia : A Survey of 272 Cases. Veterinary World Vol.3(5):219-220.


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Sekolah Kedokteran Hewan dunia

Profesi Dokter hewan merupakan salah satu profesi yang terbilang cukup tua. Profesi ini dapat dikatakan sudah ada sejak zaman romawi kuno. Dimulai dengan adanya perawat kuda pada zaman romawi yang disebut `ferrier` yaitu perawat kuda, dari sinilah dimulai perkembangan ilmu kedokteran hewan  sehingga kata `ferrier` juga berkembang menjadi veterinarius atau veterinarian. Walaupun perkembangan ilmu kedokteran hewan sudah berlangsung cukup lama, namun secara resmi profesi dokter hewan baru ada pada tahun 1761, ditandai dengan berdirinya sekolah kedokteran hewan pertama di dunia yaitu di Lyon Perancis. Secara resmi profesi dokter hewan saat ini di dunia telah berumur 250 tahun. 

Abses pada sapi

Sapi perah Abses merupakan salah satu masalah yang cukup sering terjadi pada sapi perah. Kondisi abses banyak terjadi pada peternakan sapi perah yang memiliki tingkat sanitasi kandang yang rendah. Abses merupakan kumpulan nanah (netrofil yang mati) yang berada dalam kavitas jaringan tubuh yang biasanya pada daerah kulit dan menimbulkan luka yang cukup serius karena infeksi dari bakteri pembusuk . Abses itu sendiri merupakan reaksi ketahanan dari jaringan untuk menghindari menyebar nya benda asing di tubuh. Pada abses terdapat nanah yang terlokalisasi dan dikelilingi oleh jaringan yang meradang . Gejala khas abses adalah peradangan, merah, hangat, bengkak, sakit, bila abses membesar biasanya diikuti gejala demam, selain itu bila ditekan terasa adanya terowongan (Boden 2005).

Distemper pada Anjing

Canine Distemper merupakan   salah satu penyakit penting pada anjing yang dapat menyebabkan kematian yang cukup tinggi . Tingkat kematian akibat Canine distemper pada anjing menempati urutan kedua setelah rabies (Deem et al . 2000).   Canine distemper disebabkan oleh adanya infeksi Canine distemper virus dari genus Morbillivirus dan famili Paramyxoviridae. Gejala klinik yang ditimbulkan sangat bervariasi. Gejala klinis yang timbul akibat infeksi virus distemper dapat beragam, tergantung organ yang diserang. Virus distemper umumnya dapat menyerang beberapa sistem organ seperti sistem pencernaan, sistem pernafasan, sistem saraf dan kulit.   Infeksi canine distemper virus menyebabkan adanya lesio khas pada kulit yaitu Footpad Hyperkeratosis yang biasa disebut dengan Hard Pad Disease   ( Koutinas et al. 2004).   Gambar 1. Anak Anjing (Dokumentasi Pribadi) Canine distemper pertama kali di isolasi oleh Carre pada tahun 1905. Penyakit ini tersebar diseluruh belahan dunia. Di ind